Jakarta, litbangdiklatkumdil.net - Kamis tanggal 3 Oktober 2013, Puslitbang mengadakan Seminar Focus Group Discussion dalam rangka presentasi Hasil Penelitian yang dikoordinatori DR. Ismail Rumadan, MH dengan judul Interpretasi Tentang Makna Utang Jatuh Tempo dalam Perkara Kepailitan : Kajian Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005-2011.
Berdasarkan hasil kajiannya, kordinator menarik kesimpulan :
- Pada dasarnya setelah berlakunya UU Nomor 37 Tahun 2004 kontroversi makna utang secara sempit maupun makna utang secara luas tidak terdapat perbedaan pemahaman sebagaimana terlihat dalam beberapa putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa kepailitan, sebab Undang-undang Kepailitan Indonesia menganut prinsip utang dalam arti luas.
- Perbedaan penafsiran terjadi dalam putusan pengadilan terkait dengan Utang Jatuh tempo dan dapat ditagih, perbedaan penafsiran ini muncul karena utang dimaknai secara luas bukan saja dalam hubungan hukum dalam bentuk perjanjian utang-piutang, yang mana biasanya sudah dicantumkan klausula batas waktu atau jatuh tempo suatu utang.
- Pada putusan-putusan tertentu hakim menjatuhkan vonis pailit terhadap debitur tanpa melihat kondisi kesehatan perusahaan yang dijatuhkan pailit tersebut, hal ini disebabkan karenan UU Kepailitan tidak menganut prinsip pembatasan jumlah nilai nominal uang atau utang seperti yang terdapat dalam sistem kepailitan di Negara lain, misalnya di Singapura dan Hongkong. Hal ini sebagai kekurangan dan bahkan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia
- Tanpa dibatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya sehingga untuk mencegah terjadinya unlawful execution dari para kreditornya, menjadi kepailitan sebagai alat tagih semata (debt collection tool). Di samping itu pula, dengan tidak adanya pembatasan jumlah minimum utang tersebut, bisa merugikan kreditor yang memiliki utang yang jauh lebih besar terhadap debitor ataupun merugikan debitor yang memiliki kekayan yang lebih besar daripada utang. Dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak dikenal adanya insolvensy test terhadap permohonan kepailitan debitor sehingga besarannya asset tidak dipertimbangkan untuk menolak ataupun menerima permohonan kepailitan, karena itu tidak terdapat perlindungan hokum terhadap perusahaan yang masih sangat solven dari jeratan kepailitan tersebut. Hukum kepailitan di Indonesia lebih ditekankan sebagai debt collection tool atau alat untuk penagihan utang dan alat untuk membangkrutkan perseroan terbatas
Dalam hasil penelitiannya, Koordinator memberi saran :
- Makna utang jatuh tempo dalam Undang-undang Kepailitan yang begitu luas, maka diharapkan para hakim yang menangani sengketa kepailitan mampu memberikan kontruksi hukum yang kontruktif dan konkrit terhadap makna utang jatuh tempo yang searah dengan tujuan penegakan hukum kepailitan.
- Tidak adanya pembatasan besaran atau jumlah minimal utang yang dapat dijadikan dasar penagihan melalui lembaga kepailitan dalam Undang-undang Kepailitan, maka seyogianya para hakim yang diperhadapkan dengan suatu sengketa atau kasus kepailitan harus mampu memahami sejauh mana substansi penyelesaian sengketa kepailitan dengan menjatuhkan putusan berdasarkan Pertimbangan-pertimbangan hukum yang ideal terkait dengan adanya unsur utang jatuh tempo yang menjadi salah satu syarat permohonana kepailitan. Misalnya putusan pernyataan pailit seyogianya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas,
- Sekalipun permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri, namun putusan pernyataan pailit seyogianya tidak dapat diambil oleh pengadilan tanpa disetujui oleh semua atau mayoritas kreditor. Mayoritas kreditor adalah para kreditor pemilik sebagian besar piutang.
- Permohonan pernyataan pailit seyogianya dapat diajukan terhadap Debitor yang insolven yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas. Artinya bahwa utang jatuh tempo harus dimaknai apabila debitor tidak membayar kepada kreditor tertentu saja sedangkan kepada para kreditor lain yang memiliki tagihan lebih dari 50% dari jumlah seluruh utangnya tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka terhadap debitor itu seharusnya tidak dapat diajukan permohonan pernyatan pailit baik oleh kreditor maupun oleh debitor sendiri.
Dalam presentasi hasil penelitian ini koordinator turut mengundang Panitera Muda Perdata Mahkamah Agung RI Pri Pambudi Teguh, SH., MH.; Ketua Pengadilan Negeri Cianjur Catur Ariyanto, SH., MH.; Guru Besar Hukum Pajak Universitas Hasanuddin Makassar Prof. DR. H. Muhammad Djafar Saidi, SH., MH.; Dosen Pasca Sarjana Universitas Jayabaya DR. Diah Sulistyani Muladi, SH., MH; Dosen Program Notariat Pasca Sarjana Universitas Jayabaya Holilur Rohman; Kurator Joyada Siallagan, SE., SH., MH dan Kurator Budi Rianto, SH.
< Sebelumnya | Berikutnya > |
---|