Kompetensi PA Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah :Analisis Terhadap Putusan MA Thn 2006-2011

E-mail Cetak PDF

Jakarta, litbangdiklatkumdil.net - Kamis tanggal 19 September 2013, Puslitbang mengadakan Seminar Focus Group Discussion dalam rangka presentasi Hasil Penelitian yang dikoordinatori DR. Hasbi Hasan, SH., MH dengan judul Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah : Analisis Terhadap Putusan MA Tahun 2006-2011.

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan hasil kajiannya, kordinator menarik kesimpulan :

  1. Kompetensi Peradilan Agama mengalami dinamika yang dratis, ditinjau dari perspektif historis, dan yuridis. Semula, kompetensi PA pada masa pra kemerdekaan (masas penjajahan Kolonial Belanda tahun 1882-1945) meliputi masalah pernikahan, perceraian, mahar, nafkah, perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitul mal, dan wakaf. Singkatnya, seputar hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf. Namun kemudian, kompetensi PA dibatasi pada masalah perkawinan yang sangat dipersempit dalam masalah nikah, talak dan rujuk.pada masa pra reformasi, kompetensi PA hanya mencakup bidang perkawinan, dan waris. Kemudian setelah lahirnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan kompetensi PA diperluas menangani masalah perkawinan, perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin nikah. Kemudian, setelah lahirnya UU No. 7/1989 hingga berjalan 15 tahun, kompetensi PA meluas menjadi 6 (enam) bidang: perkawinan plus kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah, (Ps. 49). Yang diurai menjadi 22 kewenangan (penjelasan Pasal 49). Pada masa reformasi, setelah adanya perubahan, Pasca UU No. 3/2006 sebagai revisi UU No. 7/1989 dan UU No. 50/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama (UU PERUPA), kompetensi PA menjadi semakin diperluas menjadi 9 bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam perspektif yuridis, kompetensi PA mendapat pijakan hukum yang kokoh, setelah diberlakukannya UU PERUPA tahun 2006, dan semakin kebih kokoh, setelah dibatalkannya Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang semula memberikan pilihan dalam penyelesaian sengketa (perkara) ekonomi syariah, menjadi kewenangan mutlak PA untuk menyelesaikan perkara tersebut.
  2. Putusan-putusan PA mengenai perkara ekonomi syariah mencakup putusan dalam berbagai bidang, antara lain perkara Akad Murabahah, perkara akad/perjanjian asuransi, dan putusan tentang akta perdamaian dalam perkara Akad Pembiayaan Musyarakah. Putusan PA tersebut, beberapa di antaranya sampai pada tingkat PK, dan ada yang hanya sampai tingkat banding, dan ada yang hanya sampai pada tingkat pertama.
  3. Putusan PA terhadap perkara ekonomi syariah, ditinjau dari perspektif tujuan hukum untuk terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan hukum, terdapat titik lemah, misalnya dalam putusan PA Jakarta Pusat, yang membatalkan putusan Basyarnas. Akibatnya putusan PA ini dibatalkan oleh putusan tingkat Banding PTA Jakarta, dan putusan banding tersebut diperkuat oleh putusan Kasasi hingga putusan Peninjauan Kembali.
  4. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali mengenai perkara ekonomi syariah, yang isinya menguatkan putusan banding dan membatalkan putusan PA, dalam kasus permohonan pembatalan putusan Basyarnas di PA Jakarta Pusat, telah sejalan dengan perspektif penegakan hukum dan perlindungan hukum, yaitu untuk terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan hukum bagi para pihak yang berperkara.

Dalam hasil penelitiannya, Koordinator memberikan saran dimana :

  1. Para Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama harus makin meningkatkan pemahaman terhadap substansi hukum ekonomi syariah, karena perkembangan jenis akad/perjanjian dewasa ini, yang tidak terbatas pada bentuk-betuk akad yang sederhana dalam kitab-kitab fiqh;
  2. Untuk menjamin tegaknya asas kepastian hukum dan agar tidak terjadi disparitas putusan, hendaknya para pembuat kebijakan khususnya pihak eksekutif dan legislatif selain untuk lebih berhati-hati dan konstruktif juga hendaknya melibatkan pihak yudikatif dalam hal ini Mahkamah Agung RI  dalam penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak lagi menimbulkan ambiguitas baik itu di kalangan penegak hukum mapun para pencari keadilan maupun tidak menimbulkan  sengketa kewenangan antar badan peradilan dalam menyelesaikan perkara.
  3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pola-pola penyelesaian perkara ekonomi syariah, sehingga dapat dirumuskan tentang pola standar penyelesaian perkara ekonomi syariah yang lebih baik.

Dalam presentasi hasil penelitian ini koordinator turut mengundang Hakim Agung MA RI Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH.; Hakim Agung MA RI DR. H. Abdurrahman, SH., MH.; Hakim Yustisial MA RI DR. H. Andi Akram, SH., MH., Hakim Yustisial MA RI DR. M. Fauzan, SH., MH.; Hakim Yustisial MA RI Drs. Nurul Huda, SH., MH., Hakim Tinggi Balitbang Diklat Kumdil MA RI DR. H. Bunyamin Alamsyah, SH., MH.; Hakim Tinggi Balitbang Diklat Kumdil MA RI DR. Komari, SH., MH.